Cool Blue Outer Glow Pointer

بِسمِ اللَّهِ الرَّحمٰنِ الرَّحيمِ

Saturday, May 1, 2010

Purwo Ardoko, Alumnus ITS, Arsitek Penjara Modern di Indonesia

SALAH satu orang penting dalam pembangunan Rutan Khusus Tipikor di Cipinang, Jakarta, yang diresmikan Selasa lalu (27/4) adalah Purwo Ardoko. Dialah arsitek rutan tersebut. Purwo memang "spesialis" perancang bangunan penjara. Termasuk, penjara supermaximum security.




Jakarta
Site plan Rutan (rumah tahanan) Cipinang dan buku tebal Building Type Basics for Justice Facilities serta setumpuk dokumen lain ada dalam dekapan Purwo Ardoko. "Saya baru mendampingi Pak Menteri (Menkum HAM Patrialis Akbar, Red) wawancara dengan TV," kata Purwo yang ditemui di salah satu kafe di kawasan Tebet, Jakarta, Kamis lalu.

Topik perbincangan di TV itu adalah Rutan Klas I Khusus Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di komlpleks Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Cipinang, Jakarta, yang baru saja diresmikan. Ini hunian baru bagi para koruptor yang berstatus terpidana, terdakwa, maupun yang masih tahanan.

Purwo memang salah seorang aktor penting di balik pembangunan rutan tersebut. Pria kelahiran Jombang itulah yang mengarsiteki pembangunan blok khusus penjahat kerah putih (white collar crime) itu. Penjara yang terdiri atas tiga lantai dan mampu menampung 256 orang.

Lantai 1 berkapasitas 16 kamar. Sel-sel berukuran 3 x 6 meter itu disiapkan untuk tahanan yang sudah uzur (lanjut usia) atau sakit. Karena itu, satu sel hanya dihuni satu orang. Di lantai 2 dan 3 masing-masing terdapat 24 kamar berukuran 7 x 5 meter. Setiap kamar diproyeksikan untuk lima tahanan.

Seluruh kamar dilengkapi fasilitas sebuah kloset. Di setiap selasar di tiap lantai dipasang kamera CCTV (closed circuit television). Sedikitnya, di tiap blok ada lima kamera CCTV, di antaranya ditempatkan di ruang petugas dan tempat kunjungan. "Ini sudah sesuai dengan standar internasional," kata Purwo.

Rutan Tipikor itu, jelas alumnus Teknik Sipil ITS (Institut Teknologi Sepuluh Nopember) Surabaya itu, merupakan salah satu di antara sembilan lapas dan rutan percontohan. Yakni, Lapas Pasir Putih Nusakambangan yang berkategori supermaximum security, Lapas Narkotika Jogjakarta, Lapas Tanjung Gusta Medan, dan Lapas Barelang Batam.

Kemudian, Rutan dan Lapas Salemba, serta tiga di Cipinang. Yakni, lapas khusus narkotika, lapas umum, dan Rutan Tipikor. "Di Medan dan Batam saya jadi advisor-nya," terang Purwo. Dia juga ikut berperan dalam pembangunan maupun renovasi tujuh penjara lain.

Purwo menuturkan, menjadi tenaga ahli independen seperti sekarang sebetulnya tidak direncanakan. Setelah lulus kuliah pada 1986, Purwo ke Jakarta. Dia bergabung dengan salah satu konsultan mengerjakan draft untuk Lapas Wanita Tangerang. "Waktu itu, satu lembar dihargai Rp 15 ribu," kenangnya.

Ayah tiga anak itu kemudian menjadi pegawai honorer di Departemen PU (Pekerjaan Umum). Namun, hanya bertahan dua tahun. Dia keluar pada 1990. Lalu meloncat jadi tenaga ahli dalam pembangunan kompleks Departemen Keuangan dan fasilitas-fasilitas sosial. Pada 1995, Purwo mulai masuk pada pengembangan rumah susun.

Namun, krisis moneter yang melanda Indonesia pada 1997?1998 membuat pengembangan properti berhenti. "Tahun-tahun itu saya sempat jadi penjual semir rambut," kata Purwo mengenang. Baru pada 1999, Purwo melanjutkan lagi proyek rusunnya. Salah satunya di kawasan Petamburan, Jakarta.

Sesudah merampungkan rusun itu, dia mendapatkan tawaran dari seorang teman untuk pembangunan penjara modern. "Kata teman saya, Departemen Kehakiman butuh sketsa untuk penjara modern," paparnya. Merasa mendapat tantangan dan penasaran, dia menerimanya. "Siapa tahu ini bisa jadi modal saya untuk melanjutkan S-2," katanya.

Mula-mula dia mempelajari visi dan misi Depkeh soal lapas dan rutan. Lalu melakukan survei lapangan. "Saya nginap tiga hari di Cipinang, ikut jadi napi," tuturnya lantas tersenyum. Di penjara itu dia memperhatikan kultur dan kebiasaan penghuninya, warga binaan maupun petugas. "Bagaimana tahanan ditawari kamar-kamar yang bagus asal ada uang, saya jadi tahu," ungkapnya.

Di lapas dia menemukan cara hidup berkelompok atau geng-gengan. Karena Purwo asal Jombang, dia "dikuasai" geng Surabaya. Selama tiga hari itu, Purwo harus merogoh kocek Rp 75 ribu. "Diberikan sama pimpinannya," katanya. "Saya tidak dapat alas tidur. Alasnya dari koran, itu pun beli. Bantalnya dari baju dilipat-lipat," lanjutnya.

Selain survei ke Cipinang, dia juga minta waktu untuk mendalami Rutan Salemba dan Lapas Sukamiskin, Bandung, serta mempelajari sejumlah penjara di luar negeri. Yakni, di Malaysia, Hongkong, Singapura, Tiongkok, dan Thailand. Perilaku tahanan di tiap-tiap negara itu menjadi salah satu risetnya. "Dibandingkan dengan luar (negeri), kita kalah fasilitas dan jumlah pegawai, tapi menang dalam sistem," beber pria 48 tahun itu.

Dia sempat kesulitan mendapatkan buku-buku arsitek tentang penjara. Satu buku yang didapatnya dinilai tidak lagi sesuai karena terbitan tahun 70-an. Akhirnya, dia mendapatkan buku Building Type Basics for Justice Facilities itu di Singapura. "Lalu, saya susun plan untuk di Indonesia," katanya. Prinsipnya, biaya murah, pemeliharaan dan pengoperasian mudah. "Sifatnya low teknologi," imbuhnya.

Yang pertama digarap adalah Lapas Narkotika Cipinang. Pembangunannya memakan waktu 2,5 tahun dan peresmiannya dilakukan pada 2003 oleh Megawati, presiden saat itu.

Perencanaan penjara tersebut, papar Purwo, mengacu pada Standard Minimum Rules for the Treatment of Prisoners yang sudah menjadi bagian dari resolusi PBB tahun 1977. Beberapa hal yang diakomodasi dalam perencanaan itu adalah ukuran ruang, cahaya, dan sanitasi.

Purwo mencontohkan ketentuan minimal 5,4 meter persegi perorang sebagai ruang gerak. Mulai tidur, bangun, dan beraktivtas. "Ruang gerak ini memang terbatas. Sebab, sebagai tahanan, ada sebagian haknya yang dirampas. Misalnya, bertemu keluarga yang tidak dilakukan di situ," katanya.

Tinggi minimal 4 meter memungkinkan penghuni untuk memperoleh sirkulasi udara cukup. Kemudian, bukaan atau ventilasi sebesar 20 persen dari luas permukaan. Untuk sanitasi, disediakan peturasan, yakni kloset plus bak kecil untuk keperluan di malam hari. Dindingnya di lapis dengan cat antikimia dan antijamur untuk menghindari bahan-bahan sulfat yang bisa mengakibatkan tergerus.

Dinding terluar dikonstruksikan tahan benturan dengan kekuatan 2 ton per titik. "Dengan demikian, diperlukan 10 orang untuk menghancurkannya," jelas Purwo. Dinding tersebut dibuat dari beton bertulang yang dicor dengan ketebalan 20 sentimeter. Bahan-bahannya harus trouble free. Jerujinya besi pilihan, diameter 20 milimeter. "Butuh waktu satu jam tanpa berhenti untuk menggergajinya," imbuhnya.

Faktor keamanan memang menjadi bagian penting dalam bangunan lapas. Meliputi pagar pengaman (deterrence); pos pengamanan, menara, dan ruang kontrol (detect); penataan pintu, dan penghambatan akses antarruang (delay). Kemudian, steril area serta meminimalkan upaya pelarian. Pagar pengamannya dibuat empat lapis di luar gedung.

Dengan aristektur semacam itu, kata Purwo, jika ada tahanan yang berhasil kabur, bisa dipastikan ada kerja sama dengan petugas petugas. "Kabur bukan karena bangunannya, tapi karena sistem atau petugas yang tidak disiplin."

Sebagai arsitek, Purwo tidak banyak berkreasi dalam membangun lapas. Namun, dia bisa memasukkan unsur estetika (keindahan) melalui permainan jarak, skala, warna, dan tekstur. "Kalau bentuknya, nggak bisa main (berkreasi, Red) karena simpel," katanya.

Lebih lanjut, dia mengatakan, sifat penjara di Indonesia bukan menghukum, tapi mengoreksi. Dengan demikian, aspek mental, spiritual, kesehatan, dan sosial tahanan tetap diperhatikan. Dia lantas mengutip ucapan Dr Saharjo, yang mencetuskan istilah pemasyarakatan. Mereka bukan penjahat, tapi orang yang tersesat, yang belum terlambat untuk bertobat.

Negara, kata dia, tidak punya hak untuk membuat orang-orang lebih buruk daripada sebelum masuk penjara. "Jadi, bukan hanya bangunannya yang bagus, pola dan sistem pengelolaan penjara itu harus pas," kata Purwo yang juga konsultan pembangunan salah satu gedung di Mahkamah Agung.

Misalnya, pengaturan jumlah tahanan dalam satu kamar harus ganjil, 1, 3, 5, atau 7. "Mengapa tidak dua" Itu untuk antisipasi resistansi terjadinya disorientasi mental, seperti homoseksual," paparnya. Pembagiannya juga dipilih dengan memperhatikan latar belakang jenis perbuatan dan kecocokan.

Sejauh ini tidak ada problem di lapas dan rutan percontohan tersebut. Kecuali masalah sanitasi. "Tapi, itu lebih karena faktor overcapacity, bukan masalah bangunannya," jelasnya.

Meski telah berhasil membuat perencanaan dan sketsa penjara model, Purwo belum sempat melanjutkan studi S-2nya. Padahal, dia menerima tawaran itu karena ingin melanjutkan kuliah. "Ya nggak jadi. Waktuku entek (habis, Red). Selesai di sini, diminta (menggarap) di sana," katanya, lantas tertawa.

Namun, Purwo mengaku itu bukan masalah. Sebab, obsesinya untuk membantu sesama sudah tersalurkan. "Yang penting, ide-ide saya dipakai," ujar Purwo yang kini menjadi ketua Forum Tenaga Ahli Bangunan Pemasyarakatan. "Saya dipilih secara aklamasi. Saat ini sudah ada di sepuluh provinsi," katanya.

sumber: www.jpnn.com Sabtu, 01 Mei 2010

No comments:

Post a Comment