Cool Blue Outer Glow Pointer

بِسمِ اللَّهِ الرَّحمٰنِ الرَّحيمِ

Sunday, November 27, 2011

Sipir Robot Bertugas di Penjara Korsel

Robot Sipir di Korsel (Daily Mail) - vivanews
Robot ini dapat mengidentifikasi perubahan kondisi para narapidana.
Narapidana yang berencana kabur atau mengacau di penjara Korea Selatan harus berpikir dua kali. Sebab, penjara di Korsel tidak hanya memiliki sipir dan menara pengawas, tapi kini juga ditambah dengan kehadiran robot canggih.

Pemerintah Korsel memperkenalkan robot pengawas setinggi satu setengah meter dan memiliki empat roda. Untuk percobaan, robot ini baru diproduksi tiga buah, ditempatkan di penjara kota Pohang mulai tahun depan. Jika sukses, maka robot akan diproduksi massal.

Tugas robot canggih ini adalah memantau kondisi tahanan. Dia akan berjaga di lorong penjara dan memeriksa setiap sel. Sensor pada tubuh robot dapat mendeteksi perubahan pada kondisi napi, seperti tingkat agresivitas atau kecenderungan bunuh diri.

Jika ditemukan, robot akan langsung melaporkannya kepada sipir. Selain itu, robot ini juga merupakan sarana komunikasi antara narapidana dan sipir penjara.

Profesor Lee Baik-chul dari Forum Pemasyarakatan Asia mengatakan bahwa robot ini tidak seperti CCTV yang hanya menampilkan layar. Namun, robot ini memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi perilaku abnormal di dalam sel.

"Tapi, robot ini bukanlah penjaga keamanan. Kerjanya bukan untuk menghentikan kekerasan di penjara. Mereka hanya pembantu. Kalau ada napi yang berada dalam situasi membahayakan atau sakit, robot akan menghubungi petugas," kata Baik-chul.

Robot ini adalah satu lagi inovasi Korsel dalam bidang robotik. Sebelumnya, Korsel telah membuat robot yang dapat mengajarkan bahasa Inggris, melakukan pekerjaan rumah, bahkan untuk menjaga perbatasan dengan Korea Utara.

sumber: vivanews.com, Minggu, 27 November 2011

BACA SELENGKAPNYA......................

Thursday, November 17, 2011

Lapas Diminta Jauh dari Pemukiman Penduduk

Jakarta
Lapas diminta jauh dari pemukiman penduduk. Hal ini dinilai perlu agar operasional Lapas tidak mengganggu lingkungan di sekitarnya.

Hal ini sudah diterapkan di sejumlah Lapas di Amerika Serikat. Indonesia dinilai perlu mencontoh hal itu agar pembinaan narapidana berjalan maksimal.

"Itu perlu, karena operasional Lapas membutuhkan peralatan jem agar ponsel tidak dapat dioperasikan," jelas anggota Komisi III dari Gerindra, Desmon Junaidi Mahesa, saat dihubungi, Kamis (17/11).

Dia mengatakan di Indonesia masih banyak Lapas yang berdampingan dengan pemukiman warga. Lapas dan Rutan Cipinang serta Salemba misalkan, sangat berdekatan dengan pemukiman warga.

Ketika alat jamer ingin difungsikan, warga di sekitarnya mengeluh. "Ini tidak baik, kinerja Lapas terganggu," jelasnya.

Dia menyarankan agar Lapas yang seperti itu dipindahkan saja ke daerah yang jauh dari jangkauan warga. Hal ini dimaksudkan agar pembinaan narapidana dapat berjalan maksimal.

Selama ini, menurutnya, masih banyaknya Lapas yang menjadi peredaran Narkoba dan bahkan menyuguhkan WTS karena masih berdekatan dengan pemukiman penduduk.

Dia mengatakan hal itu akan merugikan penduduk di sekitarnya dan juga akan mengganggu operasional Lapas. "Kita harus berpikir demi kemaslahatan keduanya, karena itu harus dijauhkan," paparnya.

sumber: republika.co.id, Kamis, 17 November 2011

BACA SELENGKAPNYA......................

Sunday, November 13, 2011

Menegakkan Rasa Keadilan (Denny Indrayana)

Denny Indrayana (Wakil Menkumham)
Jakarta
Hukum tidak boleh berjarak dengan rasa keadilan. Penegakan hukum yang berjarak dengan rasa keadilan, menjadi batal demi hukum itu sendiri. Oleh karena itu, penegakan hukum tidak hanya bersandar pada kepastian hukum semata, tetapi juga rasa keadilan dan kemanfaatan. Ramuan hukum berdasarkan kepastian, keadilan dan kemanfaatan itulah yang akan selalu menjadi pegangan kami dalam membuat kebijakan. Hukum yang terlalu kaku akan cenderung tidak adil (summum ius summa Iniuria). Meskipun demikian, kepastian dan prosedur hukum tetap tidak dapat ditinggalkan begitu saja.

Dengan menimbang tiga ramuan utama tersebut (kepastian, keadilan dan kemanfaatan), Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia mengeluarkan kebijakan moratorium obral hak narapidana kejahatan serius dan luar biasa, termasuk korupsi. Itu adalah kebijakan yang paling sejalan dengan kepastian, keadilan dan kemanfaatan. Sebagian kalangan mendesak agar hak-hak napi untuk kejahatan terorganisir tersebut langsung diberhentikan permanen. Usulan demikian tidak dapat dilakukan karena bertentangan dengan kepastian hukum. Pasal 14 ayat (1) Undang-undang Pemasyarakatan dengan jelas mengatur narapidana berhak mendapatkan hak-hak semacam remisi, pembebasan bersyarat dan lain-lain. Dengan demikian, menghapuskan sama sekali hak tersebut, akan bertentangan dengan UU Pemasyarakatan.

Meskipun penghapusan hak tidak dimungkinkan, namun pembatasan atas hak tersebut tetap dapat dilakukan. Pasal 14 ayat (2) mengatur, syarat dan tata cara pelaksanaan hak-hak narapidana diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Atas perintah UU itulah, hak-hak narapidana diatur terakhir dengan PP Nomor 28 Tahun 2006. Peraturan yang dikeluarkan di era Menkumham Andi Mattalata tersebut dengan jelas memberikan aturan berbeda antara tindak pidana umum dan tindak pidana luar biasa. Yang dikategorikan sebagai tindak pidana luar biasa adalah: terorisme, narkotika dan psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan kemanusiaan yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi yang lainnya.

Terhadap kejahatan luar biasa tersebut bukan hanya syarat napi untuk mendapatkan haknya yang diperberat, namun tata cara untuk mendapatkan hak tersebut pun diperketat. Pemberatan syarat dan perketatan tata cara itu bukanlah suatu hal yang keliru. Saya berpandangan justru tidak adil jika syarat dan tata caranya sama untuk semua napi. Adalah tidak adil jika syarat dan tata cara remisi untuk nenek pencuri biji kakao sama dengan koruptor yang merampok uang rakyat. Pada kondisi demikian, hukum justru menjadi adil dengan pembedaan perlakuan. Itulah yang dikenal dengan konsep diskriminasi positif (affirmative actions). Hukum yang selalu sama dalam semua situasi apapun justru menjadi tidak adil. Hukum untuk memberantas korupsi secara luar biasa, harus mengatur keluarbiasaan tersebut dengan kebijakan yang berpihak kepada rakyat sebagai korban perilaku koruptif, dan membatasi hak koruptor yang telah mengurangi martabat kita sebagai bangsa yang terhormat.

Jadi, moratorium yang kami maksud adalah pengetatan hak napi kejahatan luar biasa -termasuk korupsi- dengan syarat dan tata cara yang jauh lebih berat dan ketat. Moratorium yang kami maksud bukan penghentian ataupun penghapusan hak tersebut. Karena itu, pada minggu pertama berkantor di Kemenkumham, kami memberikan pembebasan bersyarat kepada Agus Condro. Dia adalah personifikasi ideal dari justice collaborator (pelaku yang berkerjasama). Paling tidak ada empat alasan yang menguatkan posisi tersebut: pertama, ia memberikan informasi yang terbukti akurat dan menjadi dasar putusan pengadilan tipikor. Kedua, dia mengakui korupsi dan mengembalikan uang hasil korupsinya. Ketiga, Agus lebih mengakui perbuatannya dengan tidak melakukan upaya hukum apapun atas putusan pengadilan tipikor. Yang terakhir, tapi juga sangat penting, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban memberikan putusan bahwa Agus Condro memang adalah seorang whistle blower yang harus dilindungi. Kepada Agus, bukan hanya kami menyetujui diberikan pembebasan bersyarat, lebih jauh Menkumham dan saya sendiri langsung menelepon yang bersangkutan dan mengucapkan selamat atas pembebasannya tersebut.

Ada yang menganggap kebijakan pengetatan hak napi tersebut bertentangan dengan peraturan perundangan. Terhadap pendapat demikian, sambil tetap menghormati perbedaan pendapat, izinkan saya menjelaskan. UU Pemasyarakatan dan PP 28/2006 jelas menjadi dasar yang kuat bagi pengetatan syarat dan tata cara pemberian hak narapidana kejahatan luar biasa. Yang kami lakukan hanyalah memaknainya dengan semangat yang lebih sejalan dengan agenda antikorupsi. Ambil contoh soal tata cara pemberian bebas bersyarat, Pasal 43 ayat (5) PP 28 tahun 2006 mengatur: pertimbangan pembebasan bersyarat harus memperhatikan kepentingan keamanan, ketertiban umum, dan rasa keadilan.

Kemenkumham di bawah pimpinan Menteri Amir Syamsudin berpendapat: rasa keadilan masyarakat terlalu terang benderang mengirimkan sinyal untuk tidak memberi obral, dan justru mengontrol pemberian hak napi bagi kejahatan luar biasa, termasuk korupsi. Aspirasi publik itulah yang pernah mengalir sangat deras beberapa waktu lalu, ketika remisi dan pembebasan bersyarat diberikan kepada narapidana korupsi. Kali ini, aspirasi itu yang ditangkap dan diaplikasikan dalam bentuk kebijakan oleh Kemenkumham. Atas kebijakan tersebut, kami memahami pro-kontra sebagai suatu keniscayaan. Pasti ada saja pihak yang merasa dirugikan dengan kebijakan moratorium obral remisi, dan karenanya memberikan reaksi penolakan. Kami Insya Allah akan menganggap setiap kritik itu sebagai masukan, sambil terus bergerak maju untuk menciptakan Indonesia lebih antikorupsi.

Indonesia yang zero tollerance terhadap korupsi itulah yang akan kami dorong dalam kurun kurang dari tiga tahun masa pengabdian kami di bawah kepemimpinan Menteri Amir Syamsudin. Sebagaimana perintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk melakukan sprint dan percepatan, setiap kebijakan akan kami ambil untuk mendorong makin efektifnya gerakan antikorupsi. Termasuk dengan menyempurnakan kembali RUU Antikorupsi, menolak RUU Pelemahan KPK dan mengevaluasi pelaksanaan UU Pengadilan Tipikor. Kesemuanya ditujukan untuk citra Indonesia ke depan yang bukan lagi surga bagi kasus korupsi. Keep on fighting for the better Indonesia

sumber: kemenkumham.go.id, Selasa 8 Nov 2011

BACA SELENGKAPNYA......................

Sunday, November 6, 2011

Menkumham Amir Syamsuddin Pimpin Acara Maaf-maafan

Menkumham Amir Syamsuddin dan wakilnya Wamenkumham, Denny Indrayana, memimpin acara maaf-maafan. (tribunnews.com)
Jakarta
Usai menjalani seluruh rangkaian ibadah sholat Idul Adha, para jamaah langsung bermaaf-maafan di lokasi shalat, Kemenkumham, Jakarta.

Dari pantauan Tribunnews.com, maaf-maafan ini dipimpin langsung oleh Menkumham, Amir Syamsuddin dan wakilnya Wamenkumham, Denny Indrayana.

Setelah bermaaf-maafan, para jamaah disuguhkan hidangan oleh Kemenkumham, untuk makan bersama di Gedung Graha Pengayoman, Kemenkumham.

"Rencananya setelah ini akan dilangsungkan pemotongan hewan qurban," ujar Kepala Bagian Informasi Kemenkumham, Gonjang Raharjo kepada Tribunnews.com

sumber: tribunnews.com, Minggu 6 November 2011

BACA SELENGKAPNYA......................

Friday, November 4, 2011

Wakil Menteri Hukum dan HAM Revisi Istilah Moratorium Remisi bagi Terpidana Korupsi dan Terorisme

Jakarta
Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana mengoreksi istilah “Moratorium Remisi” bagi terpidana korupsi dan terorisme menjadi ke istilahnya semula, “Pengetatan Remisi“ dengan syarat dan kriteria yang lebih terukur dan dapat dipertanggungjawabkan. Pernyataan tersebut diungkapkan Wakil Menteri pada Press Briefing pada Kamis (03/10) di Ruang Soepomo Kementerian Hukum dan HAM.

Menurut Denny, pengetatan hak-hak narapidana kasus korupsi dan terorisme perlu dilakukan, agar dapat memberikan efek jera bagi pelakunya. “Kemenkumham memiliki kewenangan untuk itu, dan itu sesuai dengan rasa keadilan masyarakat,” ujar Denny.

Kebijakan pengetatan remisi maupun pembebasan bersyarat sebenarnya bukan hal baru karena sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2006. Pada PP tersebut diatur syarat dan tata cara yang berbeda dan lebih berat untuk narapidana korupsi, terorisme, narkoba, dan organize crime lainnya dalam hal mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat.

Labih jauh, Wakil Menteri menjelaskan bahwa dengan adanya pengetatan tersebut bukan berarti adanya diskriminasi. “Justru tidak adil apabila kejahatan umum dan khusus diperlakukan sama,” tambahnya. Apalagi, Denny menambahkan, UUD 1945 mengatur bahwa HAM ada yang dapat disimpangi dan ada yang tidak. Hak narapidana untuk mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat merupakan hak yang dapat disimpangi, dengan menerapkan syarat dan pembatasan dalam peraturan.

Denny juga menangkis bila pengetatan tersebut dilakukan karena adanya motif politik sebab kebijakan tersebut bukan untuk orang per orang. “Kebijakan ini diputuskan semata-mata untuk menegaskan strategi juang pemberantasan korupsi dan terorisme. Tidak boleh dicampuradukkan dengan politik,” sambungnya.

Pengetatan remisi dan pembebasan bersyarat tidak berlaku bagi justice collaborator, sebagai contoh terhadap Agus Condro. Sebab, Agus Condro memenuhi kualifikasi sebagai justice collaborator. “Sementara untuk selain justice collaborator sedang kami kaji,” tambah Wakil Menteri.

Kebijakan tentang pengetatan ini diakui Wakil Menteri juga tidak berlaku surut, melainkan berlaku ke depan. Kebijakan juga tidak menabrak prosedur. “Prosedur hukum dan proses pengambilan keputusan ini sangat dapat dipertanggungjawabkan. Dan kami betul-betul menjiwai bahwa korupsi sebagai kejahatan luar biasa, sehingga harus diberantas dengan cara luar biasa pula,” ujar Denny.

Menutup Press Briefing saat sesi tanya jawab dengan wartawan, Wakil Menteri memahami adanya pro kontra terhadap kebijakan yang dibuat Menteri Hukum dan HAM tersebut. “Terima kasih bagi yang mendukung. Bagi yang ingin mengambil langkah hukum, kami hargai,” kata Denny Indrayana dengan tenang. Pernyataan tersebut terkait dengan adanya langkah hukum yang diambil Mantan Menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahendra, yang akan mensomasi Menteri dan Wakil Menteri Hukum dan HAM terkait moratorium remisi bagi terpidana korupsi.

sumber: kemenkumham.go.id, Kamis, 3 November 2011

BACA SELENGKAPNYA......................

Tuesday, November 1, 2011

Gebrakan Amir-Denny di Kemenkumham

foto: inilah.com
Jakarta
Baru dua pekan menduduki kursinya, dua petinggi Kementerian Hukum dan HAM Amir Syamsuddin - Denny Indrayana berancang-ancang membuat gebrakan. “Rasa LSM” mewarnai kepemimpinan Amir-Denny.

Rencana besar yang bakal digagas Kementerian Hukum dan HAM seperti moratorium remisi para terpidana koruptor dan teroris, hukuman kepada para koruptor di atas lima tahun, serta gagasan pelaku korupsi dibawa dan disidangkan di Jakarta, terdengar cukup ambisius dan ideal. Namun ada yang menganggapnya memunculkan masalah.

Anggota Komisi Hukum DPR RI dari Fraksi PPP Ahmad Yani mengatakan usulan Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana yang mendorong agar koruptor dibawa dan diadili di Jakarta merupakan usulan yang melanggar UU.

Dia menyebutkan UU No 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). "UU No 46 Tahun 2009, dan saat ini sudah terbentuk pengadilan Tipikor tingkat pertama di 33 Pengadilan Negeri (PN) di ibukota Provinsi dan tingkat banding di 30 Pengadilan Tinggi," kata Yani kepada waratawan, akhir pekan lalu.

Politikus PPP ini menyebutkan jika Pengadilan Tipikor dipindahkan ke Jakarta maka konsekuensinya mencabut UU tersebut. Padahal, sambung Yani, pembentukan Pengadilan Tipikor merupakan aspirasi dari LSM. "UU peradilan Tipikor yang mewajibkan seluruh provinsi harus ada. Maka MA baru membentuk beberapa, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumsel, Sulsel, Kaltim, Jatim, Sumut, Lampung," kata Yani.

Terkait pencabutan remisi bagi koruptor dengan melakukan moratorium, bekas Menteri Hukum dan HAM Yusri Ihza Mahendra berpendapat tindakan mencabut remisi terhadap para narapidana melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).

“Kepada seluruh narapidana harus diperlakukan sama tanpa membedakan jenis kejahatan sesuai konvensi PBB dan UU Kemasyarakatan 1985. Lembaga pemasyarakatan bukan lagi penjara, hanya hak-hak kebebasan diambil. Jadi kalau remisi diambil sama saja dengan merampas hak mereka sebagai masyarakat Indonesia,” kata Yusril pertengahan bulan lalu mengomentari rencana pencabutan remisi bagi Narapidana korupsi.

Sebagaimana dimaklumi, saat ini, Kementerian Hukum dan HAM tengah melakukan moratorium remisi bagi koruptor dan pelaku teror sembari melakukan kajian terhadap pemberian hak bagi narapidana tersebut. Wakil Menteri Hukum dan HAM, Denny Indrayana, yang mendampingi Menkumham, Amir Syamsuddin, mengatakan, Kemenkumham memastikan, Peraturan Pemerintah tentang moratorium remisi bagi koruptor dan teroris sejalan dengan undang-undang.

"Tim sedang bekerja dalam waktu dekat ini, dalam perubahan Peraturan Pemerintah. Semoga hal ini, sejalan dengan peraturan Undang-undang antikorupsi dan rasa keadilan," terang Denny. Saat ini lanjut Denny, kriteria tersebut masih dalam pengkajian lebih dalam. Tim yang mengkaji kriteria tersebut terdiri dari para ahli dan akademisi.

Mantan Direktur Eksekutif Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Fakultas Hukum UGM Yogyakarta ini menyebutkan moratorium remisi bagi pelaku korupsi dan terorisme juga memberi pesan korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa. Harapannya, hukumannya dapat memberikan kejeraan bagi pelakunya.

Wacana lainnya yang tengah digodok Kemenkumham terkait vonis minimal lima tahun bagi pelaku korupsi. Sebagaimana disampaikan Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin yang menyebutkan wacana di tengah masyarakat terkait rendahnya vonis pelaku korupsi.

Semangat progresif Kementerian Hukum dan HAM lewat duet Amir-Denny dalam merespon suara publik memang patut diapresiasi. Boleh saja 'Rasa LSM' menghiasi birokrasi Kemenkumham, namun harus tetap berpijak pada per-UU-an.

sumber: inilah.com, Senin, 31 Oktober 2011

BACA SELENGKAPNYA......................