Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar mengaku setuju dengan wacana pemiskinan para koruptor sebagai salah satu upaya pemberantasan korupsi di tanah air. Maksudnya, disikat semua harta para koruptor. Dengan pemiskinan terhadap pihak-pihak yang terbukti melakukan praktik korupsi diyakini akan memberi efek jera yang lebih optimal.
Statement Menhum dan HAM itu dia berikan di Medan kemarin tentu bisa dijadikan wacana, namun banyak pihak tidak yakin bisa terwujud, apalagi memberikan efek jera karena memang tidak mudah menerapkannya. Sebab, menggali harta kekayaan para koruptor itu pekerjaan berat karena mereka sudah pintar mengalihkan hartanya ke berbagai bank di luar negeri yang punya komitmen kuat tidak akan membuka akses pihak mana pun untuk bisa melacaknya.
Kasus jaksa Cirus Sinaga misalnya, media massa sudah membuka sejumlah hartanya berupa rumah mewah, kebun sawit dll namun tidak ada upaya menindaklanjutinya, malah aliran dana Rp5 miliar dari Gayus Tambunan dinyatakan bersih, tidak terlacak dalam rekening. Tentu saja hal itu ‘’menggelikan’’ banyak pihak karena hakimnya saja sudah mengaku menerima uang Rp50 juta dari jaksa. Itu sebabnya tuntutan terhadap kasus markus pajak Rp28 miliar Gayus diperingan dan hakim akhirnya membebaskan oknum Dirjen Pajak golongan III-A itu. Konspirasi menjual hukum seperti itu banyak terjadi di berbagai daerah, terutama dalam kasus korupsi.
Hemat kita, wacana pemiskinan para koruptor itu hanya membuang-buang waktu, tidak akan efektif, mengapa tidak diterapkan saja hukuman mati kepada para koruptor. Gaungnya jauh lebih menakutkan. Sebab, kejahatan yang mereka (koruptor) lakukan membuat rakyat menderita, membuat bangsa terpuruk seperti yang terjadi di negeri kita (Indonesia) saat ini. Kejahatan luar biasa harus diberi sanksi luar biasa pula, sehingga sangat adil para koruptor dihukum mati.
Apalagi, Ketua Mahkamah Konstitusi Prof Mahfud MD pun setuju, para ulama sebagian sudah menyatakan persetujuannya. Kalaupun ada penolakan dari kalangan penegak hak asasi manusia dan terkait dengan UUD 45 namun jika diterapkan secara selektif tentu hukuman mati tanpa membuat korbannya menderita terlalu lama bisa diterapkan, seperti diterapkan di China. Pejabat negara di negeri komunis itu kini takut melakukan korupsi secara terang-terangan sehingga pembangunan dan kemajuan ekonomi negara Tirai Bambu itu maju pesat.
Sebagai bangsa yang memiliki sumber daya alam melimpah tidak selayaknya setengah dari rakyatnya hidup miskin dan lebih 40 juta jiwa hidup di bawah garis kemiskinan. Wajar saja kalau Indonesia tercatat sebagai negara paling korup di dunia, bahkan nomor satu di Asia Pasifik (survei PERC 2010).
Meskipun tingkat korupsi di Indonesia sudah sangat tinggi, namun upaya pemberantasannya sangat lamban. Yang ada baru sekadar wacana menerapkan hukuman mati, pemiskinan koruptor, pembuktian terbalik dll. Yang menyedihkan kita, lembaga KPK pun sudah dilanda isu miring dengan meledaknya kasus Bibit dan Chandra (cicak dan buaya).
Jadi, mengharapkan lembaga penyidik bersih di satu sisi sebuah keniscayaan, adalah tugas aparat polisi, jaksa, hakim dan KPK untuk memeriksa dan mengadili para pelaku tindak kejahatan khususnya pelaku korupsi tanpa pilih kasih. Faktanya di sisi lain memang tidak seperti diharapkan, karena di lapangan kita melihat banyak oknum polisi, jaksa, hakim dan juga oknum KPK yang tega menjual hukum untuk memperkaya diri. Padahal, terhadap mereka sudah diberi insentif. Kasus Gayus Tambunan membuktikan kalau pemberian gaji tinggi 5-7 kali lipat tidak mampu menghapus korupsi.
Paradigma ‘’carrot and stick’’ selalu dikemukakan para pakar hukum dalam pemberantasan korupsi di institusi mana pun di dunia ini. ‘’Carrot’’ adalah memberi penghasilan cukup bagi penyidik sehingga mereka mampu memenuhi kebutuhan dasarnya seperti pendidikan, kesehatan dan lain-lain sesuai dengan kompetensi dan tanggung jawab yang mereka miliki. Penghasilan yang cukup sehingga mereka mampu hidup dengan standar menengah. Sedangkan ‘’Stick’’ adalah hukuman bagi mereka yang melakukan korupsi. Hukuman merupakan sebuah konsekuensi logis dari ‘’reward’’ yang telah diberikan.
Hukuman ini seyogianya lebih berat dibandingkan sebelum diberikannya ‘’carrot’’. Sama halnya aparat penegak hukum melanggar hukum harusnya dihukum jauh lebih berat ketimbang warga biasa yang tidak mengerti hukum sehingga akan menimbulkan efek jera bagi calon pelaku lainnya untuk berpikir kembali apabila berniat korupsi. Dan khusus para pelaku korupsi sudah waktunya dihukum mati plus hukuman sosial lainnya, termasuk menyita seluruh harta kekayaannya yang berasal dari korupsi.
sumber: waspada.co.id Senin, 03 May 2010
No comments:
Post a Comment