Cool Blue Outer Glow Pointer

بِسمِ اللَّهِ الرَّحمٰنِ الرَّحيمِ

Saturday, June 12, 2010

Wartawan Tempo Terbitkan Buku Selama Dipenjara

Jakarta
Tidak banyak narapidana yang mampu mengisahkan pengalaman mereka dalam sebuah buku. Kalaupun ada jumlahnya tentu bisa dihitung dengan jari tangan. Tapi Ahmad Taufik merupakan pengecualian.

Wartawan Tempo yang sempat mendekam hampir tiga tahun di Lapas Cipinang itu meluncurkan buku terbarunya yang berjudul “Penjara Untold Stories” di Universtias Paramadia, Jakarta, Kamis (10/6).

Hadir sebagai pembicara mantan Kepala Badan Urusan Logistik, Rahardi Ramelan, Wakil Ketua Komnas HAM, Yosep Adi Prasetyo dan Direktur Bina Statistik Direktorat Jenderal Lembaga Pemasyarakatan, Rahmat Prio. Acara dibuka oleh Rektor Paramadina, Anis Baswedan dan dipandu oleh aktivis YLBHI, Taufik Basari.

Buku ini berkisah tentang pengalaman Taufik selama mendekam dalam sejumlah penjara. Dalam tulisannya, ia mengisahkan bahwa praktek diskriminasi, kutipan liar, kekerasan dan perlakuan yang tidak manusiawi kala itu telah menggurita. Para pelaku kekerasan tidak hanya berasal dari kalangan narapidana, melainkan juga oleh petugas lapas.

Jojo Rahardjo, salah seorang peserta menilai buku ini sebagai cerminan kondisi penjara yang tidak pernah berubah dari tahun ke tahun. Itu terlihat dari pengakuan Rahardi Ramelan yang kerap dikutip uang keamanan oleh petugas lapas maupun rekan sesama napi ketika mejalani hukuman di Lapas Cipinang. “Fenomena ini terus berlanjut. Kasus Ayin adalah buktinya,” kata Jojo.

Taufik dinyatakan bersalah oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atas aktivitasnya menerbitkan Suara Independen. Ia tidak sendiri. Vonis serupa dijatuhkan kepada rekannya, Eko Maryadi. Keduanya dijatuhi hukuman penjara selama tiga tahun sejak bulan Maret 1995 dan keluar pada September 2007 setelah mendapatkan remisi empat bulan.

Gugatan pidana terhadap keduanya bermula ketika mereka merintis penerbitan media Suara Independen. Media yang dirintis oleh jaringan jurnalis dari empat kota, Jakarta, Bandung, Jogja dan Surabaya itu merupakan media alternaltif yang dibuat guna merespon kondisi politik Orde Baru yang ketika itu sangat represif.

Suara Independen lahir dari rahim perlawanan sejumlah jurnalis yang geram atas perlakuan penguasa Orde Baru terhadap pembredelan tiga media massa nasional: Tempo, Detik dan Editor. Ekspresi perlawanan itu juga diperlihatkan dengan membangun jaringan jurnalis dibawah bendera Aliansi Jurnalis Independen. Dan Taufik adalah ketua AJI yang pertama.

Bukan tanpa alasan jika Suara Independen mengambil sikap perlawanan tersebut. Menurut Eko Maryadi, sikap itu dengan sadar dipilih untuk melawan setiap bentuk intervensi penguasa atas ruang redaksi. Tanpa itu, kata dia, produk jurnallistik yang dibuat oleh jurbnalis tidak akan pernah hadir unutk melayani kepentingan publik. “Media massa hanya akan menjadi corong penguasa,” ujarnya.

Kuatnya cengkraman penguasa atas media massa kala itu tampak dari kepemilikan Harmoko atas saham sejumlah perusahaan media dan jabatannya yang merangkap sebagai Ketua Dewan Pers. “Bahkan, pemilihan pimpinan Persatuan Wartawan Indonesia (sebagai wadah tunggal organisasi jurnalis) pun harus mendapatkan persetujuan Harmoko terlebih dahulu,” kata Eko.

Kehadiran Suara Independen lekas membuat penguasa gerah. Reaksi atas kehadiran media tersebut kemudian digugat oleh Menteri Penerangan, Harmoko. Ia menilai media tersebut melanggar ketentuan lantaran belum mengantungi Surat Izin Usaha Penerbitan (SIUP) dan Surat Izin Terbit (SIT) sebagaimana diatur dalam UU No. 21 tahun 1984 tentang Pokok Pers.

sumber dari tempointeraktif.com Kamis, 10 Juni 2010

No comments:

Post a Comment