Singkawang
Keinginan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas IIB Kota Singkawang merenovasi bangun bakal terlaksana. Sebab, rencananya Kementerian Hukum dan HAM akan mengucurkan bantuan sebesar Rp 2,5 miliar.
“Bila nanti benar-benar dapat bantuan, akan kita gunakan untuk merenovasi Lapas,” ungkap Kepala Lapas Singkawang Setia Budi Irianto kepada wartawan, usai upacara peringatan HUT Bhakti Pemasyarakatan ke-46, Selasa (27/4).
Diterangkannya, bantuan dari Kementerian Hukum dan HAM tersebut merupakan bagian dari kebijakan Presiden SBY dalam 100 hari kerjanya, yaitu untuk mereformasi lapas secara total. “Insyaallah, bantuan akan turun pada bulan Mei ini,” katanya.
Beberapa bagian bangunan Lapas yang akan direnovasi jelas Budi, diantaranya peninggian pagar, penambahan blok wanita, pembangunan selasar dan beberapa bagian blok pria. Saat ini kondisi bangunan lapas memang sangat memprihatinkan. Diakuinya, saat ini blok anak memang belum ada. “Untuk sementara, tahanan anak ada sembilan orang dan masih digabung dengan blok pria,” ujarnya.
Gambaran yang hampir sama juga terjadi pada blok wanita. Jumlah narapidana (Napi) dan tahanan wanita di Lapas Singkawang saat ini berjumlah 32 orang. Akibat keterbatasan ruangan, terpaksa para warga binaan tersebut harus berbagi tempat dalam dua blok. “Masing-masing blok berisikan 16 orang. Padahal idealnya dalam blok wanita harus diisi tujuh orang, tapi karena keterbatasan terpaksa kita muatkan saja. Oleh sebab itu, jika bantuan tersebut sudah cair, untuk blok wanita akan kita bangun dua blok lagi,” terangnya.
Selain itu, pagar yang mengelilingi lapas yang total dihuni 263 napi dan tahanan ini juga akan ditinggikan. Menurut Budi, langkah ini dilakukan demi menjaga keamanan. Alasannya, walaupun pembinaan terus dilakukan, tapi bila masih ada napi yang melarikan diri, tentu pembinaan yang dilakukan akan percuma.
Renovasi bangunan LP ungkapnya, sejalan dengan tema yang diangkat dalam peringatan Hari Bhakti Pemasyarakatan tahun ini, yaitu “Dengan Hari Bhakti Pemasyarakatan ke- 46 Kita Wujudkan Kebangkitan Pemasyarakatan Kedua Tahun 2010 Melalui Reformasi Birokrasi”.
Sementara itu, Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar dalam sambutan yang dibacakan Kalapas Singkawang menjelaskan, pelaksanaan pidana penjara harus mengedepankan upaya-upaya untuk memperkenalkan napi dengan masyarakat. Selama menjalani pidana, hilangnya kemerdekaan napi harus mendapatkan pendidikan dan pembinaan yang dapat memberikan manfaat ketika mereka kembali ke masyarakat.
Makanya, sejak 27 April 1964 melalui Amanat Presiden Republik Indonesia, istilah “pemasyarakatan” secara resmi dipergunakan. Inilah momentum penting dalam sejarah perkembangan pemasyarakatan. “Momentum yang menandai kebangkitan pemasyarakatan,” ujarnya.
Kebangkitan pemasyarakatan dimaknai sebagai sebuah fase transformasi paradigma perlakuan terhadap pelanggaran hukum, yaitu dari paradigma penjara menjadi paradigma pemasyarakatan. Dalam paradigma pemasyarakatan, fokus perlakuan terhadap napi tidak lagi didasarkan pada aspek penjeraan atau pembalasan. Perlakuan terhadap napi tidak pula bertujuan untuk balas dendam. Tetapi, perlakuan terhadap napi didasarkan pada upaya-upaya yang lebih manusiawi. ‘Perlakuan yang mengedepankan upaya untuk mengintergrasikan kembali napi dalam kehidupan masyarakat,” jelasnya.
Reintegrasi sosial merupakan model pembinaan yang dianut dalam pelaksanaan pemasyarakatan. Reintegrasi sosial didasarkan pada pandangan bahwa pelanggaran hukum terjadi, karena adanya disharmoni kehidupan dalam masyarakat. Pelanggaran hukum terjadi karena adanya keretakan hubungan antara pelanggar hukum dengan masyarakat. Oleh karena itu, pemasyarakatan merupakan sebuah proses untuk memulihkan hubungan hidup, kehidupan dan penghidupan pelanggar hukum.
Kini, 46 tahun sudah gagasan pemasyarakatan diimplementasikan. Pembaharuan dalam pelaksanaan pembinaan napi sesuai dengan gagasan pemasyarakatan telah dilakukan. Metode pembinaan napi terus dikembangkan untuk menemukan format yang tepat dalam mendorong tercapainya reintegrasi sosial. Dimana metode pembinaan dibangun untuk membuka ruang yang luas bagi seluruh komponen bangsa, untuk terlibat secara aktif dalam proses dan program pembinaan.
Bahkan, metode pembinaan pun diciptakan untuk memberikan akses yang besar bagi napi untuk berintegrasi dalam kehidupan masyarakat. Hal ini sebagai realisasi pembaharuan konsep pembinaan, yang mengandung upaya baru pelaksanaan perlakuan napi yang mengedepankan semangat deinstitusionalisasi atas dasar kemanusiaan.
Dalam paruh perjalanan, gagasan pemasyarakatan beserta nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, kemudian dilembagakan dalam Undang-undang (UU) Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Secara tegas dijabarkan dalam UU ini, bahwa pemasyarakatan merupakan sebuah kegiatan untuk melakukan pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan dan cara pembinaan. UU ini pun secara tegas melembagakan hak-hak warga binaan pemasyarakatan yang harus dihormati dan dijunjung tinggi.
Pelembagaan gagasan pemasyarakatan dalam sebuah UU merupakan suatu wujud nyata, bahwa negara memberikan perlakuan yang terbaik bagi seluruh warga negara. Karena pada dasarnya, negara tidak berhak membuat seseorang lebih buruk atau lebih jahat daripada sebelum ia dipenjarakan.
Namun, didasari bahwa implementasi gagasan pemasyarakatan bukanlah hal yang mudah. Banyak aral yang harus dilewati, tidak sedikit beban yang harus ditanggung. Implementasi pemasyarakatan menghadapi banyak hambatan dan permasalahan. Fakta menunjukkan, ribuan napi terpaksa harus tidur berdesak-desakan dalam sel yang pengap, tidak sedikit yang harus tidur bergelantungan pada kain yang diikatkan pada jeruji besi, atau bahkan tidur di atas dinding penyekat kamar mandi. “Inilah kondisi lapas atau rumah tahanan (Rutan) yang kelebihan kapasitas (over capacity),” paparnya.
Kondisi lapas dan rutan yang kelebihan kapasitas mempunyai dampak lanjutan yang serius. Tingkat kesehatan napi yang buruk merupakan satu konsekuensi logis yang pasti dialami oleh napi. Sanitasi yang buruk dan pola hidup yang jauh dari sehat menjadikan napi menjadi individu yang rentan tertular berbagai penyakit, seperti TB dan penyakit kulit. Bahkan, penyakit HIV/AIDS.
Fakta lain adalah rendahnya kualitas pelayanan lapas/rutan. Survei integritas pelayanan publik yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan, tingkat pelayanan publik pemasyarakatan masih rendah. Pungutan liar dan kurang optimalnya pelayanan hak-hak napi masih terjadi. Hal ini tidak terlepas karena belum adanya kode etik petugas pemasyarakatan, lemahnya sistem pengawasan, tidak adanya keterbukaan informasi, lemahnya penggunaan sarana yang berbasis teknologi, manajemen SDM yang lemah, dan terjadinya over kapasitas.
sumber: equator-news.com Rabu, 28 April 2010
No comments:
Post a Comment