Komisi III DPR RI menemukan sejumlah kejanggalan yang terjadi di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dalam wilayah Provinsi Bengkulu. Temuan tersebut, disebutkan sebagai hasil dari kunjungan kerja (Kunker) Komisi III DPR RI ke Bengkulu, dari hari Minggu (31/10) lalu hingga Selasa (2/11) ini.
"Di Lapas Kelas IIA Provinsi Bengkulu, Komisi III menemukan kondisi over capacity lebih (dari) 50 persen. Dari kapasitasnya yang 250 orang, kini diisi oleh 460 narapidana," tulis anggota Komisi III DPR dari Fraksi PKS, Bukhari Yusuf, Selasa (2/11).
Selain over capacity, Komisi III DPR juga disebutkan menemui seorang ibu yang ditahan hanya karena kasus pertengkaran mulut. "Prosesnya sampai ke persidangan. Ibu itu memiliki anak kecil-kecil, lalu harus ditahan. Ini menurut kami harus diperhatikan," ujar Bukhari.
Hal yang lebih mengagetkan, lanjut Bukhari, adalah adanya laporan dari Kejaksaan Tinggi, Kanwil Hukum dan HAM (setempat), bahwa ada sejumlah kabupaten hingga kini belum memiliki lapas, seperti misalnya di Kabupaten Muko-Muko. "Ini sangat merepotkan penegak hukum dan keluarga yang ingin menjenguk warga binaan yang ditahan, karena butuh waktu dua hingga tiga jam dengan mobil pribadi untuk sampai ke lapas yang dititip di luar wilayah Muko-Muko," katanya.
Lebih lanjut, Komisi III DPR juga disebutkan menerima laporan dan pengaduan, bahwa Kanwil Hukum dan HAM belum bisa melakukan kerja yang terintegrasi dengan Pemda dan DPRD, untuk membahas sejumlah peraturan daerah (Perda). "Selama ini, Kanwil hanya meriset, sementara pembahasan dilakukan Pemda dan DPRD. Mestinya, Kanwil Hukum dan HAM bisa dilibatkan dalam pembahasan Perda terkait. Sama halnya dengan kemitraan Komisi III DPR dengan Kemenkumham dalam memproses RUU," jelasnya.
Masih menurut Bukhari, selama berada di Bengkulu, Komisi III juga menemukan adanya penegakan hukum yang diskriminatif. "Yang ditangani hanya kasus orang lemah dan miskin. Sementara kasus yang berdampak besar seperti Dispenda-gate, belum bisa dieksekusi," imbuhnya.
Terakhir, seperti disebutkan Bukhari, ada juga temuan soal implementasi dan penggunaan DIPA. "Umumnya berpandangan bahwa yang terpenting adalah proyek terlaksana. Soal kualitas, efisien dan efektifitas, tidak lagi jadi pertimbangan mendasar dalam menggunakan uang rakyat," pungkasnya.
sumber: jpnn.com, Selasa, 02 November 2010
No comments:
Post a Comment