Indonesia kini memasuki demokrasi yang sebebas-bebasnya mengalahkan demokrasi liberal yang berlaku di Amerika Serikat sekalipun. Di Amerika untuk menjadi anggota House of Representatives (Dewan Perwakilan Rakyat), Senat (Dewan Perwakilan Daerah), walikota, gubernur, dan presiden haruslah orang-orang yang benar-benar mempunyai rekam jejak masa lalu yang bersih dan tidak pernah tersangkut masalah pidana.
Di Indonesia kini berlaku aturan baru, yaitu semua warga negara berhak menjadi pejabat publik. Sehingga mantan narapidana, baik terpidana korupsi, perampok, pengedar narkoba, pembunuh, pemerkosa, penyelundup, pelanggar HAM, pelaku gerakan separatis, dan teroris. Mereka berhak mencalonkan diri dan terpilih menjadi anggota DPRD, DPD, DPR, walikota, bupati, gubernur, bahkan presiden.
DPR telah membuka ruang bagi semua mantan narapidana agar bisa mencalonkan diri sebagai anggota legislatif maupun pejabat eksekutif. Alasannya, mantan napi seharusnya tetap memiliki hak politik yang sama, karena sudah menjalani masa hukuman. Masa hukuman itu ibarat "penebusan" kesalahan, sehingga ketika ia telah keluar dari lembaga pemasyarakatan (LP), berarti ia ibarat "bayi yang baru lahir". Kesalahan dan kejahatan yang pernah dilakukan di masa lalu tidak seharusnya menjadi beban dosa seumur hidupnya.
Aturan atau klausul bahwa semua mantan narapidana (apapun kejahatannya dan seberat apapun hukumannya) bisa mencalonkan diri menjadi calon anggota legislatif dan ikut dalam pemilukada ini mengacu pada amar putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU/7/2009. Putusan MK ini menganulir UU No.10 Tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif, Pasal 51 huruf g dan Pasal 50 ayat 1 huruf g dan Revisi UU No.12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 58 huruf f.
Pasal tersebut memuat syarat setiap orang yang ingin mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif baik pusat maupun daerah serta calon kepala daerah harus bersih dari catatan kriminal. Pasal-pasal itu menyebutkan seorang caleg atau calon kepala daerah harus memenuhi syarat "tidak pernah dijatuhi hukuman pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih."
MK memutuskan ketiga pasal itu conditionally unconstitutional atau inskonstitusional bersyarat. Artinya, ketentuan tersebut dinyatakan inkonstitusional bila tak memenuhi empat syarat yang ditetapkan MK dalam putusannya, yakni, (i) tak berlaku untuk jabatan publik yang dipilih (elected officials), (ii) berlaku terbatas jangka waktunya hanya selama lima tahun sejak terpidana selesai menjalani hukumannya, (iii) dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana; (iv) bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang.
Kado Istimewa Buat Narapidana
Keputusan MK ini tentu menjadi kado istimewa bagi para mantan narapidana. Dengan ketentuan ini, maka dipersilakan saja para mantan narapidana, koruptor, pengedar narkoba, pembunuh, pemerkosa, penyeludup, pelanggar HAM, pelaku gerakan separatis, dan teroris untuk mendaftar menjadi caleg atau ikut pemilihan kepala daerah. Kita pun sebagai rakyat, harus siap-siap, suka atau tidak suka, dipimpin oleh mantan koruptor, pembunuh, pemerkosa atau bandar narkoba jika mereka terpilih nantinya.
Logika hukum diperbolehkannya mantan penjahat untuk menjadi pejabat adalah bahwa mantan napi mempunyai hak yang sama dengan warga negara lainnya. Artinya seseorang yang sudah menjalani hukuman karena tersangkut tindak pidana sama saja telah melunasi kesalahannya. Apalagi sekarang kita tak mengenal lagi penjara. Istilah penjara telah lama dihapus, kemudian diganti dengan lembaga pemasyarakatan (Lapas), sebuah institusi yang membina para napi ke jalan yang benar. Ini berarti bahwa mereka yang telah keluar dari Lapas berarti telah lulus menjalani proses pemasyarakatan. Sehingga kehadirannya di tengah masyarakat sebagai warga yang sudah bersih, tanpa cacat dan cela sebagaimana sebelum tersangkut tindak pidana.
Keputusan MK ini kemudian akan diadopsi DPR untuk mengesahkan UU Pemilu Legislatif, UU Pemilukada, dan UU Pemilihan Presiden. Jadi nantinya, mantan narapidana juga berhak ikut mencalonkan diri dan ikut dalam pemilihan Presiden RI. Seandainya presiden terpilih nanti adalah mantan koruptor, bandar narkoba, pemerkosa atau pembunuh, lalu apa kata dunia?
Kita tidak bisa membayangkan, misalnya jika seorang koruptor, bandar narkoba, pelaku trafficking, atau penyelundup. Mereka berhasil mengumpulkan banyak uang haram, lalu kemudian mereka dihukum 2-5 tahun penjara, tanpa penyitaan aset atau harta mereka. Bukankah uang haram yang mereka kumpulkan ini bisa menjadi dana kampanye yang potensial mengantarkan mereka untuk meraih jabatan di legislatif maupun eksekutif?
Bagaimana pula perasaan korban perkosaan atau keluarga korban pembunuhan, bila mantan pemerkosa dan mantan pembunuh anggota keluarga mereka, seandainya kemudian terpilih menjadi anggota DPR atau kepala daerah?
Coba bayangkanlah, jika ada seorang mantan teroris yang pernah dipenjara di Pulau Nusa Kambangan atau Penjara Guantanamo, Kuba. Kemudian 20-25 tahun kemudian ia bebas, berhasil meraih simpati rakyat, dan mencalonkan diri menjadi Presiden RI, terpilih pula. Bagaimana reaksi dunia internasional?
Aturan yang Merusak
Secara sosial, aturan ini akan merusak tatanan dan norma yang selama ini ada di masyarakat. Selain norma hukum positif, di tengah masyarakat kita juga berlaku norma adat, kesusilaan, dan agama, yang sudah berlaku lama sebelum hukum positif itu ada. Di beberapa bagian masyarakat misalnya, ada kebiasaan untuk mengusir para pelaku tindak asusila. Tidak terbayangkan jika yang diusir itu kembali ke daerah tersebut menjadi pejabat publik.
Secara moral, aturan ini akan melahirkan generasi muda yang tak memikirkan masa depannya. Mereka akan memakai narkoba, menjadi pengedar, membunuh dan memperkosa sesukanya tanpa pemikiran yang panjang. Toh, setelah di penjara, tetap bisa menjadi pejabat atau pemimpin. Kita tidak bisa membayangkan jika mantan narapidana bisa menjadi tentara, polisi, jaksa, hakim, anggota KPK, atau hakim konstitusi.
Padahal di Amerika Serikat sekalipun jika seseorang bercita-cita ingin mejadi pejabat publik (kepala daerah, anggota DPR atau senat), mereka sejak muda terus berusaha menjaga reputasi dan moralnya. Mereka akan menjauhi skandal, tindak pidana, perselingkuhan, tidak memakai narkoba, bahkan kalau bisa tidak pernah ditilang sekalipun. Sekali saja ada cacat, misalnya pernah ketahuan berselingkuh, maka ia tidak ada peluang untuk menjadi pejabat publik.
Secara politik, aturan baru ini jelas akan menurunkan rasa kepercayaan rakyat terhadap lembaga-lembaga negara. Jika selama ini rakyat tidak percaya kepada partai politik, maka berikutnya akan meluas kepada lembaga-lembaga negara lainnya, baik DPRD, DPR pemerintah daerah dan pemerintah pusat.
Aturan baru ini tentu disambut gegap gempita oleh para narapidana yang tengah dipenjara atau mantan narapidana yang telah bebas dari penjara yang berasal dari kalangan politisi (mantan anggota dewan atau kepala daerah). Kebanyakan mantan narapidana itu bergairah kembali untuk menjadi caleg 2014 atau ikut dalam pemilukada.
Jika pasal yang mengizinkan mantan narapidana boleh menjadi calon anggota legislatif dalam Pemilu 2014 kelak, menurut prediksi sebagian kalangan, kemungkinan 5-25 persen kursi keanggotaan di DPRD kabupaten/kota, DPRD Provinsi, dan DPR akan diisi kembali oleh mantan-mantan narapidana dari bekas anggota dewan yang diberhentikan karena kasus korupsi, penyuapan, kejahatan seksual, dan kasus narkoba.
Sementara untuk pemilukada akan lebih seru lagi. Para mantan kepala daerah yang pernah diberhentikan ketika masih menjabat karena dipenjara akibat kasus korupsi akan kembali "turun gunung". Dengan sisa-sisa dana hasil korupsi dan pendukung fanatik yang masih setia mereka akan menggalang kekuatan untuk maju dalam pemilukada, baik lewat jalur parpol atau perseorangan.
Relakah kita mempunyai pemimpin mantan narapidana? Saya sendiri tak rela. Jangankan untuk memilih pemimpin, memilih suami untuk anak perempuan saya sendiri saja saya akan sangat selektif. Tidak rela rasanya jika anak perempuan saya memilih suami yang pernah membunuh dengan sengaja atau pernah memperkosa beberapa wanita. Itulah tanda cinta sebagai orang tua untuk memproteksi anak sendiri.
Tapi ternyata para pemimpin di negeri ini, baik di legislatif, eksekutif maupun yudikatif, termasuk Mahkamah Konstitusi, tidak sayang kepada rakyatnya. Rakyat yang begitu banyak dengan beragam kondisi ekonomi, sosial, pendidikan, dan buta terhadap politik, tidak diproteksi dari ancaman para "monster" licik yang haus akan kekuasaan.
Oleh : Fadil Abidin.
Penulis adalah guru SD.