Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana mengoreksi istilah “Moratorium Remisi” bagi terpidana korupsi dan terorisme menjadi ke istilahnya semula, “Pengetatan Remisi“ dengan syarat dan kriteria yang lebih terukur dan dapat dipertanggungjawabkan. Pernyataan tersebut diungkapkan Wakil Menteri pada Press Briefing pada Kamis (03/10) di Ruang Soepomo Kementerian Hukum dan HAM.
Menurut Denny, pengetatan hak-hak narapidana kasus korupsi dan terorisme perlu dilakukan, agar dapat memberikan efek jera bagi pelakunya. “Kemenkumham memiliki kewenangan untuk itu, dan itu sesuai dengan rasa keadilan masyarakat,” ujar Denny.
Kebijakan pengetatan remisi maupun pembebasan bersyarat sebenarnya bukan hal baru karena sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2006. Pada PP tersebut diatur syarat dan tata cara yang berbeda dan lebih berat untuk narapidana korupsi, terorisme, narkoba, dan organize crime lainnya dalam hal mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat.
Labih jauh, Wakil Menteri menjelaskan bahwa dengan adanya pengetatan tersebut bukan berarti adanya diskriminasi. “Justru tidak adil apabila kejahatan umum dan khusus diperlakukan sama,” tambahnya. Apalagi, Denny menambahkan, UUD 1945 mengatur bahwa HAM ada yang dapat disimpangi dan ada yang tidak. Hak narapidana untuk mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat merupakan hak yang dapat disimpangi, dengan menerapkan syarat dan pembatasan dalam peraturan.
Denny juga menangkis bila pengetatan tersebut dilakukan karena adanya motif politik sebab kebijakan tersebut bukan untuk orang per orang. “Kebijakan ini diputuskan semata-mata untuk menegaskan strategi juang pemberantasan korupsi dan terorisme. Tidak boleh dicampuradukkan dengan politik,” sambungnya.
Pengetatan remisi dan pembebasan bersyarat tidak berlaku bagi justice collaborator, sebagai contoh terhadap Agus Condro. Sebab, Agus Condro memenuhi kualifikasi sebagai justice collaborator. “Sementara untuk selain justice collaborator sedang kami kaji,” tambah Wakil Menteri.
Kebijakan tentang pengetatan ini diakui Wakil Menteri juga tidak berlaku surut, melainkan berlaku ke depan. Kebijakan juga tidak menabrak prosedur. “Prosedur hukum dan proses pengambilan keputusan ini sangat dapat dipertanggungjawabkan. Dan kami betul-betul menjiwai bahwa korupsi sebagai kejahatan luar biasa, sehingga harus diberantas dengan cara luar biasa pula,” ujar Denny.
Menutup Press Briefing saat sesi tanya jawab dengan wartawan, Wakil Menteri memahami adanya pro kontra terhadap kebijakan yang dibuat Menteri Hukum dan HAM tersebut. “Terima kasih bagi yang mendukung. Bagi yang ingin mengambil langkah hukum, kami hargai,” kata Denny Indrayana dengan tenang. Pernyataan tersebut terkait dengan adanya langkah hukum yang diambil Mantan Menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahendra, yang akan mensomasi Menteri dan Wakil Menteri Hukum dan HAM terkait moratorium remisi bagi terpidana korupsi.
sumber: kemenkumham.go.id, Kamis, 3 November 2011
No comments:
Post a Comment