Denny Indrayana (Wakil Menkumham) |
Hukum tidak boleh berjarak dengan rasa keadilan. Penegakan hukum yang berjarak dengan rasa keadilan, menjadi batal demi hukum itu sendiri. Oleh karena itu, penegakan hukum tidak hanya bersandar pada kepastian hukum semata, tetapi juga rasa keadilan dan kemanfaatan. Ramuan hukum berdasarkan kepastian, keadilan dan kemanfaatan itulah yang akan selalu menjadi pegangan kami dalam membuat kebijakan. Hukum yang terlalu kaku akan cenderung tidak adil (summum ius summa Iniuria). Meskipun demikian, kepastian dan prosedur hukum tetap tidak dapat ditinggalkan begitu saja.
Dengan menimbang tiga ramuan utama tersebut (kepastian, keadilan dan kemanfaatan), Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia mengeluarkan kebijakan moratorium obral hak narapidana kejahatan serius dan luar biasa, termasuk korupsi. Itu adalah kebijakan yang paling sejalan dengan kepastian, keadilan dan kemanfaatan. Sebagian kalangan mendesak agar hak-hak napi untuk kejahatan terorganisir tersebut langsung diberhentikan permanen. Usulan demikian tidak dapat dilakukan karena bertentangan dengan kepastian hukum. Pasal 14 ayat (1) Undang-undang Pemasyarakatan dengan jelas mengatur narapidana berhak mendapatkan hak-hak semacam remisi, pembebasan bersyarat dan lain-lain. Dengan demikian, menghapuskan sama sekali hak tersebut, akan bertentangan dengan UU Pemasyarakatan.
Meskipun penghapusan hak tidak dimungkinkan, namun pembatasan atas hak tersebut tetap dapat dilakukan. Pasal 14 ayat (2) mengatur, syarat dan tata cara pelaksanaan hak-hak narapidana diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Atas perintah UU itulah, hak-hak narapidana diatur terakhir dengan PP Nomor 28 Tahun 2006. Peraturan yang dikeluarkan di era Menkumham Andi Mattalata tersebut dengan jelas memberikan aturan berbeda antara tindak pidana umum dan tindak pidana luar biasa. Yang dikategorikan sebagai tindak pidana luar biasa adalah: terorisme, narkotika dan psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan kemanusiaan yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi yang lainnya.
Terhadap kejahatan luar biasa tersebut bukan hanya syarat napi untuk mendapatkan haknya yang diperberat, namun tata cara untuk mendapatkan hak tersebut pun diperketat. Pemberatan syarat dan perketatan tata cara itu bukanlah suatu hal yang keliru. Saya berpandangan justru tidak adil jika syarat dan tata caranya sama untuk semua napi. Adalah tidak adil jika syarat dan tata cara remisi untuk nenek pencuri biji kakao sama dengan koruptor yang merampok uang rakyat. Pada kondisi demikian, hukum justru menjadi adil dengan pembedaan perlakuan. Itulah yang dikenal dengan konsep diskriminasi positif (affirmative actions). Hukum yang selalu sama dalam semua situasi apapun justru menjadi tidak adil. Hukum untuk memberantas korupsi secara luar biasa, harus mengatur keluarbiasaan tersebut dengan kebijakan yang berpihak kepada rakyat sebagai korban perilaku koruptif, dan membatasi hak koruptor yang telah mengurangi martabat kita sebagai bangsa yang terhormat.
Jadi, moratorium yang kami maksud adalah pengetatan hak napi kejahatan luar biasa -termasuk korupsi- dengan syarat dan tata cara yang jauh lebih berat dan ketat. Moratorium yang kami maksud bukan penghentian ataupun penghapusan hak tersebut. Karena itu, pada minggu pertama berkantor di Kemenkumham, kami memberikan pembebasan bersyarat kepada Agus Condro. Dia adalah personifikasi ideal dari justice collaborator (pelaku yang berkerjasama). Paling tidak ada empat alasan yang menguatkan posisi tersebut: pertama, ia memberikan informasi yang terbukti akurat dan menjadi dasar putusan pengadilan tipikor. Kedua, dia mengakui korupsi dan mengembalikan uang hasil korupsinya. Ketiga, Agus lebih mengakui perbuatannya dengan tidak melakukan upaya hukum apapun atas putusan pengadilan tipikor. Yang terakhir, tapi juga sangat penting, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban memberikan putusan bahwa Agus Condro memang adalah seorang whistle blower yang harus dilindungi. Kepada Agus, bukan hanya kami menyetujui diberikan pembebasan bersyarat, lebih jauh Menkumham dan saya sendiri langsung menelepon yang bersangkutan dan mengucapkan selamat atas pembebasannya tersebut.
Ada yang menganggap kebijakan pengetatan hak napi tersebut bertentangan dengan peraturan perundangan. Terhadap pendapat demikian, sambil tetap menghormati perbedaan pendapat, izinkan saya menjelaskan. UU Pemasyarakatan dan PP 28/2006 jelas menjadi dasar yang kuat bagi pengetatan syarat dan tata cara pemberian hak narapidana kejahatan luar biasa. Yang kami lakukan hanyalah memaknainya dengan semangat yang lebih sejalan dengan agenda antikorupsi. Ambil contoh soal tata cara pemberian bebas bersyarat, Pasal 43 ayat (5) PP 28 tahun 2006 mengatur: pertimbangan pembebasan bersyarat harus memperhatikan kepentingan keamanan, ketertiban umum, dan rasa keadilan.
Kemenkumham di bawah pimpinan Menteri Amir Syamsudin berpendapat: rasa keadilan masyarakat terlalu terang benderang mengirimkan sinyal untuk tidak memberi obral, dan justru mengontrol pemberian hak napi bagi kejahatan luar biasa, termasuk korupsi. Aspirasi publik itulah yang pernah mengalir sangat deras beberapa waktu lalu, ketika remisi dan pembebasan bersyarat diberikan kepada narapidana korupsi. Kali ini, aspirasi itu yang ditangkap dan diaplikasikan dalam bentuk kebijakan oleh Kemenkumham. Atas kebijakan tersebut, kami memahami pro-kontra sebagai suatu keniscayaan. Pasti ada saja pihak yang merasa dirugikan dengan kebijakan moratorium obral remisi, dan karenanya memberikan reaksi penolakan. Kami Insya Allah akan menganggap setiap kritik itu sebagai masukan, sambil terus bergerak maju untuk menciptakan Indonesia lebih antikorupsi.
Indonesia yang zero tollerance terhadap korupsi itulah yang akan kami dorong dalam kurun kurang dari tiga tahun masa pengabdian kami di bawah kepemimpinan Menteri Amir Syamsudin. Sebagaimana perintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk melakukan sprint dan percepatan, setiap kebijakan akan kami ambil untuk mendorong makin efektifnya gerakan antikorupsi. Termasuk dengan menyempurnakan kembali RUU Antikorupsi, menolak RUU Pelemahan KPK dan mengevaluasi pelaksanaan UU Pengadilan Tipikor. Kesemuanya ditujukan untuk citra Indonesia ke depan yang bukan lagi surga bagi kasus korupsi. Keep on fighting for the better Indonesia
sumber: kemenkumham.go.id, Selasa 8 Nov 2011
No comments:
Post a Comment