Di tengah perdebatan banyak kalangan terkait pengetatan remisi koruptor, dosen Hukum Politik Universitas Indonesia Ganjar Laksmana Bondan justru angkat bicara mengenai sejarah remisi yang telah ada di Amerika.
Menurutnya, pada awalnya aturan remisi yang dianut oleh negara yang sangat menjunjung hak asasi manusia (HAM) itu bukanlah dianggap sebagai hak terpidana, tetapi lebih kepada hadiah pemberian raja atau ratu.
"Kalau mengacu sejarahnya bukan hak napi, tapi kalau liat sejarahnya ini murni hadiah pemberian dari ratu yang sedang happy ," kata Ganjar dalam diskusi Polemik Sindo Radio di Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (10/3).
Zaman dahulu pemberian remisi itu tidak dilakukan lantaran terpidana berkelakuan baik, tetapi lebih tergantung pada kebaikan hati sang ratu.
Ganjar mengatakan di Amerika sama sekali tidak dikenal mengenai remisi. "Amerika mengacu pada stelsel murni. Buat apa hukuman pidana diakumulasikan kalau akhirnya ada remisi," terangnya.
Pria yang mengaku belum sempat membaca gugatan maupun salinan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) terkait gugatan yang dimenangkan Yusril Ihza Mahendra itu mengatakan di Indonesia ada yang kurang pas dari UU itu sendiri. Dalam Undang-undang menyatakan remisi disebut hak napi.
Menurutnya, hal itu ujung pangkal permasalahannya karena meskipun diangap sebagai hak terpidana, tetapi pemberian remisi itu masih diberikan secara bersyarat.
"Ada dasar untuk memberikan remisi secara hati-hati dan bijaksana, ditambah lagi peraturan pelaksanaanya jelas ada cara untuk menilainya," pungkasnya.
sumber: mediaindonesia.com, Sabtu, 10 Maret 2012
No comments:
Post a Comment